ANGINDAI.COM — Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi destinasi wisata bersejarah yang menarik perhatian banyak pengunjung.
Dikenal juga sebagai Benteng Panynyua karena bentuknya yang menyerupai penyu dari ketinggian, benteng ini menyimpan segudang fakta unik, sejarah yang kaya, dan koleksi benda-benda berharga yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang Makassar sebagai pusat perdagangan maritim.
Berlokasi strategis di Jalan Ujung Pandang, Kelurahan Bulo Gading, Kecamatan Ujung Pandang, benteng ini telah berdiri megah sejak abad ke-17. Fort Rotterdam dianggap sebagai benteng termegah di Sulawesi Selatan, bahkan pernah disebut sebagai benteng terbaik di Asia.
Awalnya dibangun oleh Raja Gowa ke-10, Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (Karaeng Tunipalangga Ulaweng), benteng ini berbentuk segi empat bergaya Portugis.
Perubahan signifikan terjadi pada masa Sultan Gowa ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabbia (Sultan Alauddin), pada tahun 1634 dan 1635, dengan penambahan dinding dari batu padas hitam dan dinding kedua di dekat pintu gerbang.
Benteng ini sempat hancur akibat serangan Belanda yang berulang kali antara tahun 1655 hingga 1669, saat Kesultanan Gowa dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.
Penyerangan Belanda bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Makassar dan membuka jalur ke Banda serta Maluku.
Setelah kekalahan Kesultanan Gowa, benteng ini dibangun kembali oleh Gubernur Jenderal Speelman dengan gaya arsitektur Belanda, dan namanya diubah menjadi Fort Rotterdam, sesuai nama kota kelahiran Speelman.
Pada masa kolonial, benteng ini menjadi pusat pemerintahan Belanda di Indonesia bagian timur.
Di dalam kompleks seluas 2,5 hektar ini, terdapat 16 bangunan yang berfungsi sebagai museum cagar budaya di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.
Salah satu daya tarik utama adalah Museum La Galigo, museum tertua di Sulawesi Selatan yang menyimpan sekitar lima ribu koleksi.
Koleksi ini meliputi miniatur perahu pinisi, alat bercocok tanam tradisional, alat transportasi lawas, serta peninggalan dari berbagai kerajaan yang pernah berkuasa di Sulawesi Selatan, seperti Kerajaan Bone, Luwu, Gowa, Sawitto, hingga Wajo.
Museum ini sempat nonaktif pada masa pendudukan Jepang, namun kembali dirintis oleh para budayawan setelah pembubaran Negara Indonesia Timur.
Selain Museum La Galigo, Benteng Fort Rotterdam juga menjadi saksi bisu penahanan Pangeran Diponegoro.
Sebuah bangunan kecil di dalam benteng, yang merupakan ruangan sempit di samping Museum La Galigo, adalah tempat Pangeran Diponegoro ditahan setelah perang lima tahun dengan Belanda.
Ia ditangkap melalui jebakan perundingan damai, dibuang ke Manado, dan kemudian dipindahkan ke Fort Rotterdam pada tahun 1834.
Benteng ini memiliki lima bastion khas: Bastion Bacan di bagian tengah barat, Bastion Buton di sudut barat laut, Bastion Amboina di sudut tenggara, serta Bastion Mandarsyah di sudut timur laut.
Meskipun dinding benteng kokoh, pintu utamanya berukuran cukup kecil. Keunikan bentuk benteng yang menyerupai penyu seolah akan berenang ke laut karena lokasinya yang dekat dengan perairan menjadi ciri khas yang tak terlupakan.
Mengunjungi Benteng Fort Rotterdam memungkinkan pengunjung untuk menyelami sejarah, menikmati arsitektur klasik yang instagramable, dan mengagumi koleksi benda-benda bersejarah yang berharga.