Pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun
ANGINDAI.COM – Kejaksaan Agung mengungkapkan dugaan kasus korupsi besar-besaran dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina Patra Niaga.
Kasus ini melibatkan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Menurut Kejaksaan Agung, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, diduga melakukan pembelian BBM dengan spesifikasi RON 90 (Pertalite) namun membayar dengan harga RON 92 (Pertamax). BBM tersebut kemudian dioplos di storage atau depo untuk menjadi RON 92, yang tidak diperbolehkan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa tindakan ini melanggar ketentuan yang mengharuskan pemenuhan minyak mentah dalam negeri sebelum merencanakan impor.
Dalam praktiknya, produksi kilang sengaja diturunkan sehingga produksi minyak dalam negeri tidak terserap sepenuhnya, dan pemenuhan minyak bumi dilakukan melalui impor.
Selain Riva Siahaan, enam tersangka lainnya juga ditetapkan dalam kasus ini, termasuk Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, dan beberapa pejabat lainnya.
Mereka diduga bekerja sama untuk memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang dengan harga tinggi sebelum syarat impor terpenuhi.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, membantah tudingan adanya pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.
Menurutnya, produk Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh Dirjen Migas.
Kasus ini tidak hanya berdampak pada BUMN, tetapi juga pada sektor migas yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp193,7 triliun, dan angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan proses audit yang dilakukan oleh BPK.